Cerita tukang batu Hiduplah seorang ahli batu yang sangat
terkenal di China. Hasil karyanya tersohor di segenap penjuru negeri.
Batu-batu permata dan intan yang berkilauan itu, dipajang menjadi
perhiasan jemari dan kaki para raja. Hampir semua batu indah
di dunia ini, pernah diolah tangannya. Giok, rubi, dan
safir, terpajang di segenap sudut-sudut rumahnya.
Namun, sang ahli sudah sangat tua. Kini, ia berusaha mencari pengganti dan penerus karya-karyanya. Belasan orang berusaha berguru. Tapi, tak ada yang cocok buat pekerjaan itu. Hingga akhirnya ia menemukan seorang pemuda yang tampak bersemangat, dan bersedia menjalani ujian.
Namun, sang ahli sudah sangat tua. Kini, ia berusaha mencari pengganti dan penerus karya-karyanya. Belasan orang berusaha berguru. Tapi, tak ada yang cocok buat pekerjaan itu. Hingga akhirnya ia menemukan seorang pemuda yang tampak bersemangat, dan bersedia menjalani ujian.
“Anak muda, ujian pertama ini tidak sulit,” ucap sang ahli membuka pembicaraan. “Mudah saja. Begini, jika kamu mampu mengambil batu dalam genggamanku, maka kamu layak mewarisi semua ilmuku. Namun, jika tanganku yang lebih cepat menutup, maka kamu harus mengulang ujian itu besok.” Anak muda itu mendengarkan dengan seksama. Ia mengangguk pelan, “Baiklah, itu pekerjaan mudah.”
Ujian itu pun dimulai. Sang ahli, meletakkan sebuah batu di atas genggaman. Disodorkannya ke arah muka si anak muda. “Ayo, ambil”. Hap. Tampak kedua tangan yang beradu cepat. Sang pemuda berusaha meraih batu dalam gengaman itu. Ah, dia kalah sigap. Tangan sang ahli telah lebih dulu menutup. “Kamu belum berhasil anak muda. Cobalah besok.” Sang pemuda tampak kecewa.
Keesokan harinya, anak muda itu kembali mencoba. Ujian pun berulang. Lagi-lagi, dia gagal. Gerakannya masih terlalu lambat. Ia pun harus kembali mengulang ujian itu. Dua, tiga hari dilaluinya, tak juga berhasil. Sembilan hari telah terlewati, tapi batu itu masih belum berpindah tangan. Pemuda itu mulai tampak putus asa, dan dia berjanji, kalau besok masih belum berhasil, dia akan berhenti dan tak mau menjadi ahli permata.
Hari penantian itu pun tiba. Keduanya telah duduk berhadapan. Sang ahli bertanya, “Kamu sudah siap?” Sang ahli meletakkan sebongkah batu di atas gengamannya. Namun, tiba-tiba anak muda itu berteriak, “Hei, tunggu dulu. Itu bukan batu yang biasa kita gunakan!” Alih-alih meraih batu itu, sang anak muda malah menanyakan tentang batu. Wajah keheranan itu dibalas dengan senyuman dari sang ahli batu. “Anak muda, kamu lulus ujian pertama dariku. Selamat!”
***
Hidup di dunia, kadangkala seperti pertunjukan sulap. Apa yang ada di depan mata, seringkali bukan apa yang kita dapatkan. Harapan yang kita inginkan, acapkali meleset. Banyak yang tertipu, banyak pula yang salah duga dan salah kira. Sebab, di sana memang penuh kepalsuan.
Teman, sering kita mendengar istilah, siapa cepat dia dapat. Kita pun terpacu untuk sepakat dengan perkataan itu. Kemudian, segalanya berubah menjadi begitu bergegas. Adu cepat dan adu sigap. Namun, adakah yang tercepat selalu yang jadi pemenang? Kadangkala jawabannya tidak semudah itu. Saya percaya, tak selamanya kita memaknai hidup ini dengan cara-cara seperti itu. Ada kalanya kita perlu bertanya kepada hati tentang makna hidup yang sebenarnya. Setidaknya, kali ini saya percaya, mereka yang cermatlah yang akan memenangkan pertarungan hidup. Mereka-mereka yang belajar tentang ketelitianlah yang lulus dari ujian kehidupan. Tak selamanya, si cepat adalah si juara.
0 komentar:
Posting Komentar